Senin, 07 November 2011

Progress di Kayu Manis Bogor

Kondisi sebelum dan sesudah





MCK sebelum renovasi












Lapangan Volley sebelum pengecoran











Taman fasum sebelum pembangunan

















Lapangan Volley telah selesai dan telah dipergunakan









MCK telah selesai dan telah dipergunakan











MCK telah selesai dan telah dipergunakan













Pendopo dan taman/fasum




























Taman/Fasum setelah penanaman rumput dan pohon buah, sekarang dalam tahap pembuatan ruang aktivitas ekonomi dan pemagaran.

Minggu, 06 November 2011

Tataruang Kota Bogor, Kepentingan Ekonomi dan Kualitas Lingkungan

Pengembangan suatu wilayah merupakan rangkaian dalam rangka mencapai tujuan pembangunan wilayah yang bersangkutan. Untuk itu pengembangan wilayah suatu daerah perlu mempertimbangkan minimal aspek-aspek pemerataan,dan keberlanjutan. Dengan demikian Pengembangan suatu wilayah memerlukan sinergitas dan integritas semua pemangku kepentingan, sehingga apa yang menjadi tujuan pembangunan suatu wilayah dapat dicapai. Dalam hal Sinergitas dan integritas pemangku kepentingan ini tentunya memerlukan suatu persepsi yang sama sehingga dapat lebih efektif dan efisien, dengan tidak mengurangi pada tujuan-tujuan ekonomi suatu wilayah.

Permasalahan utama pengembangan wilayah adalah keterbatasan sumber daya. Keterbatasan sumber daya ini seringkali menjadi isu utama yang oleh beberapa pemangku kepentingan dijadikan dasar justifikasi terhadap suatu masalah. Sebuah contoh adalah tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, dengan alasan keterbatasan tempat, maka kebijakan pemilihan suatu tempat sebagai TPA sampah, seolah-olah tidak ada pilihan lain. Di sektor Transportasi, isu kemacetan menjadi ciri khas perkotaan, dan kemacetan menjadi bahasan yang sering muncul di Media Massa, dan sekali lagi, keterbatasan ruas jalan menjadi justifikasi yang seolah tidak dapat dipungkiri. Dibidang lain seperti tumbuhnya gedung-gedung perkantoran, Mal, Pabrik dan lain sebagainya, sering terjadi benturan antara penurunan kualitas lingkungan dengan kepentingan ekonomi.

Bogor Economics Summit (BES) 2010, mencoba memformulasikan kebijakan yang terintegrasi antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan Kota Bogor, melalui beberapa kesepakatan. Diantara kesepakatan tersebut yaitu mengenai Infrastruktur dan Tata ruang. Diidentifikasi juga dalam BES 2010 tersebut, bahwa belum mantapnya perencanaan tata ruang dan terbatasnya infrastruktur dinilai menjadi ganjalan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Itu meliputi masalah RTRW (rencana tata ruang wilayah), pengelolaan persampahan, transportasi, dan jaringan jalan.

Disisi lain Model-model kerjasama dengan negara-negara maju, salah satunya adalah Sister City, belum sepenuhnya memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan wilayah yang bersangkutan, khususnya bagi kota-kota di Indonesia. Padahal tujuan utama Sister City adalah mempercepat pembangunan ekonomi kedua kota yang bekerjasama. Yang sering muncul dari kerjasama Sister City ini adalah kerjasama bidang pendidikan dan kebudayaan. Seharusnya skema kerjasama Sister city harus dikemas dalam jangka panjang untuk pengembangan kapasitas SDM Pemerintah Daerah, dunia usaha dan masyarakat Kota yang bersangkutan, sehingga dapat meningkatkan fundamental ekonomi untuk pengembangan ekonomi daerah. (Buletin Tata Ruang BKPRN, , Mei-Juni 2010).

Melihat keterbatasan Sumber Daya, Benturan-benturan kepentingan antara pemangku kepentingan yang satu dengan yang lain, dalam pembangunan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat suatu wilayah, diperlukan suatu kajian yang komprehensip dan visioner yang telah mempertimbangkan aspek pemerataan dan keberlanjutan (sustainability) secara terus menerus. Disamping itu kemauan politik dari Eksekutif danLegislatif, serta kesadaran masyarakat menjadi indicator penting dalam menciptakan pembangunan yang merata dan berkesinambungan. Undang-undang no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, telah mengamanatkan kepada Pemerintah daerah kabupaten / kota dalam dalam hal penataan ruang ini pada pasal 11, yang mengatur wewenang pemerintah daerah kabupaten / kota dalam penataan ruang.

Mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 5/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kawasan perkotaan, dan peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 12/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyediaan dan pemanfaatan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) di kawasan perkotaan, maka seyogyanya Pemerintah kabupaten/kota menyediakan sebagian wilayahnya untuk RTH dan RTNH. Salah satu focus dalam RTH dan RTNH ini adalah bahwa selain penyediaan ruang kegiatan ekonomi, Pemerintah kota dan Kabupaten juga harus menyediakan lahan terbuka untuk aktivitas social budaya masyarakat. Diantaranya taman bersama, sarana olah raga dan lain-lain.

Pada 21 Maret 2011, Pemkot Bogor mendapatkan persetujuan Kementrian Pekerjaan Umum terkait Raperda RTRW 2011-2013. Persetujuan ini dibutuhkan sebagai kelengkapan dalam raperda RTRW yang selanjutnya Raperda tersebut akan diserahkan ke DPRD Kota Bogor untuk dibahas.

Sebagai penunjang wilayah DKI, Kota Bogor diharapkan mampu memberikan dukungan sumber daya kepada DKI Jakarta. Dalam ringkasan eksekutif RTRW Kota Bogor 2009-2028, terlihat bahwa fungsi unggulan Kota Bogor adalah pada sektor Jasa (Pendidikan, penelitian, konvensi, akomodasi dan kesehatan). Sektor lainnya yaitu Pariwisata yang terdiri dari budaya, IPTEK, spiritual, belanja, kuliner). Sektor ketiga yaitu perdagangan yang mencakup agribisnis, otomotif, dan elektronik). Sektor terakhir yang menjadi fungsi unggulan adalah perumahan.

Terdapat beberapa permasalahan yang kontradiktif dengan fungsi unggulan tersebut. Maraknya tempat-tempat hiburan malam di Kota Bogor, bertentangan dengan fungsi unggulan Pariwisata (spiritual). Kota Bogor telah menjadi tujuan wisata hiburan malam yang nota bene hal ini bertentangan dengan fungsi unggulan tersebut. Dijadikannya Kota Bogor sebagai fungsi unggulan pariwisata lainnya yaitu sebagai tempat belanja telah memunculkan supermarket-supermarket yang mematikan industri perdagangan tradisional. Hal ini menyebabkan pedagang-pedagang kecil tidak mempunyai tempat lagi. Dalam RTRW Kota Bogor 2009-2028, akan dibatasi penambahan lokasi industri, namun kenyataannya bahwa di kecamatan tanah sareal bermunculan industri-industri baru, yang berpotensi menyumbangkan polutan dan merusak kualitas lingkungan. Penempatan industri-industri dilahan-lahan penopang air tanah, memungkinkan kontinuitas ketersediaan air diwilayah bersangkutan akan menjadi berkurang. Pertumbuhan Ruang toko/ruang kantor tidak diikuti oleh penyediaan lahan hijau dari area parkirnya,telah ikut menyumbangkan pada penurunan kualitas udara Kota Bogor.

Disadari bahwa Kota Bogor membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam pembangunan, sehingga banyak dibangun industri-industri (manufaktur/jasa) yang padat modal, namun seiring dengan itu terjadi penurunan kualitas lingkungan dan sosial. Dengan demikian perlu dilakukan evaluasi mendalam terhadap sektor-sektor yang turut menyumbangkan pada penurunan kualitas lingkungan dan sosial tersebut. Penutupan tempat-tempat hiburan malam, menjadi urgent untuk dilakukan. Analisis dampak lingkungan seharusnya dapat mencegah industri-industri penyumbang polutan ada di Bogor.

Pengembangan industri perdagangan tradisional/lokal akan lebih memberikan multiflier effect yang besar kepada masyarakat Kota Bogor, dibandingkan dengan pembukaan supermarket-supermarket